A.
pendidikan
Islam dan Tantangan Modernitas
Pendidikan dalam sejarah peradaban
anak manusia adalah salah satu komponen kehidupan yang paling urgen. Aktifitas
ini telah dan akan terus berjalan semenjak manusia pertama ada di dunia sampai berakhirnya
kehidupan di muka bumi ini. Bahkan kalau ditarik mundur lebih jauh lagi, kita
akan dapatkan bahwa pendidikan telah mulai berproses semenjak Allah swt.
menciptakan manusia pertama Adam di sorga dimana Allah telah mengajarkan kepada
beliau semua nama-nama yang oleh para malaikat belum dikenal sama sekali (QS Al
Baqarah: 31-33).
Semenjak manusia berinteraksi dengan aktifitas pendidikan
ini semenjak itulah manusia telah berhasil merealisasikan berbagai perkembangan
dan kemajuan dalam segala lini kehidupan mereka. Bahkan pendidikan adalah suatu
yang alami dalam perkembangan peradaban manusia. Dan secara paralel proses
pendidikan pun mengalami kemajuan yang sangat pesat, baik dalam bentuk metode,
sarana maupun target yang akan dicapai. Karena hal ini merupakan salah satu
sifat dan keistimewaan dari pendidikan, yaitu selalu bersifat maju
(taqaddumiyyah). Sehingga apabila sebuah pendidikan tidak mengalami serta tidak
menyebabkan suatu kemajuan atau malah menimbulkan kemunduran maka tidaklah
dinamakan pendidikan. Karena pendidikan adalah sebuah aktifitas yang integral
yang mencakup target, metode dan sarana dalam membentuk manusia-manusia yang
mampu berinteraksi dan beradabtasi dengan lingkungannya, baik internal maupun
eksternal demi terwujudnya kemajuan yang lebih baik
B. Manusia Berperan
Sebagai Ibadullah dan Kholifatullah fil Ard, dan bagaimana
mewujudkannya.
Beribadah kepada Allah SWT merupakan tugas pokok bahkan
satu-satunya tugas dalam kehidupan manusia sehingga apa pun yg dilakukan oleh
manusia dan sebagai apa pun dia seharusnya dijalani dalam kerangka ibadah
kepada Allah SWT sebagaimana firman-Nya yg artinya “Dan Aku tidak
menciptakan manusia kecuali supaya mereka menyembah-Ku.” . Agar segala yg
kita lakukan bisa dikategorikan ke dalam ibadah kepada Allah SWT paling tidak
ada tiga kriteria yg harus kita penuhi.
1.
Melakukan segala sesuatu dengan
niat yg ikhlas karena Allah SWT. Keikhlasan merupakan salah satu kunci bagi
diterimanya suatu amal oleh Allah SWT dan ini akan berdampak sangat positif
bagi manusia yg melaksanakan suatu amal karena meskipun apa yg harus
dilaksanakannya itu berat ia tidak merasakannya sebagai sesuatu yg berat
apalagi amal yg memang sudah ringan. Sebaliknya tanpa keikhlasan amal yg ringan
sekalipun akan terasa menjadi berat apalagi amal yg jelas-jelas berat utk
dilaksanakan tentu akan menjadi amal yg terasa sangat berat utk mengamalkannya.
2.
Melakukan segala sesuatu dgn cara
yg benar bukan membenarkan segala cara sebagaimana yg telah digariskan oleh
Allah SWT dan dicontohkan oleh Rasul-Nya. Manakala seorang muslim telah
menjalankan segala sesuatu sesuai dgn ketentuan Allah SWT maka tidak ada
penyimpangan-penyimpangan dalam kehidupan ini yg membuat perjalanan hidup
manusia menjadi sesuatu yg menyenangkan.
3.
Melakukan segala sesuatu dgn
tujuan mengharap ridha Allah SWT dan ini akan membuat manusia hanya punya satu
kepentingan yakni ridha-Nya. Bila ini yg terjadi maka upaya menegakkan kebaikan
dan kebenaran tidak akan menghadapi kesulitan terutama kesulitan dari dalam
diri para penegaknya hal ini krn hambatan-hambatan itu seringkali terjadi krn
manusia memiliki kepentingan-kepentingan lain yg justru bertentangan dgn ridha
Allah SWT.[1]
Manusia berkedudukan sebagai wakil atau pengganti
Allah di muka bumi. Yaitu manusia yang mempunyai kemampuan untuk mengatur dan
mengubah alam. Manusia yang sedikit banyak mengetahui rahasia alam. Semua itu
tidak berlaku bagi makhluk-makhluk lainnya.
Semua manusia secara
potensial (bil-quwwah), diciptakan untuk menjadi khalifatullah. Namun agar
potensi tersebut menjadi nyata (bil-fi’li), terdapat sejumlah kriteria yang
harus dimilikinya, yaitu ilmu, iman, amal shaleh, memberi keputusan dengan
benar, tidak mengikuti hawa nafsu dan ber-amar ma’ruf dan nahi munkar baru lah
Khalifah Allah.
Ingatlah, ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat,
Sesungguhnya Aku akan menciptakan di muka bumi seorang khalifah. Para malaikat serentak berkata, Apakah Engkau hendak
menciptakan di muka bumi (makhluk) yang akan melakukan kerusakan dan akan
menumpahkan darah di dalamnya, padahal kami senantiasa bertasbih dengan
menyanjung-Mu dan mensucikan-Mu? Seraya Allah menjawab, Sungguh Aku lebih
mengetahui apa-apa yang tidak kalian ketahui. (QS. Al-Baqarah ayat 30).
Ayat di atas termasuk dari sekian firman
Allah Ta’ala yang senantiasa segar dibahas dan dikaji. Hingga saat ini para
ulama, khususnya Mufassirin (ahli tafsir Al-Qur’an), belum puas-puas dan tidak
henti-hentinya mengungkap dan mengeksplorasi sedalam-dalamnya maksud dari ayat
tersebut, untuk mendapat kebenaran darinya. Alasan mereka jelas dan sederhana.
Karena ayat ini menyangkut eksistensi manusia yang sebenarnya.
Kriteria-Kriteria Khalifatullah
1.
Ilmu
Kriteria pertama adalah ilmu. Pada ayat yang telah disebutkan terdahulu, selanjutnya disambung dengan ayat yang berbunyi :
Kriteria pertama adalah ilmu. Pada ayat yang telah disebutkan terdahulu, selanjutnya disambung dengan ayat yang berbunyi :
Dia mengajarkan kepada Adam asma (nama benda-benda) semuanya,
kemudian dia mempertunjukkannya kepada para malaikat. Lalu Allah berfirman
(kepada para malaikat), Sebutkanlah kepada-Kuasma-asma itu, jika kalian memang
benar ?”(QS. Al-Baqarah : 31).
Para mufasir berbeda pendapat tentang pengertian asma yang
tercantum pada ayat di atas. Walaupun mereka berbeda pendapat tentang makna
asma, tetapi yang pasti (al-qadru al-mutayaqqan) dan yang tidak diperselisihkan
lagi adalah, bahwa Adam as. dibekali pengetahuan dan ilmu yang tidak dimiliki
oleh para malaikat.
Sebagaimana telah kami kutipkan komentar Allamah Thabathaba’i
tentang pengertian asma pada surat Al-Baqarah ayat 31 tersebut, beliau
menjelaskan bahwa Allah telah menyimpan dalam diri manusia sebuah potensi ilmu,
yang akan nyata dengan mengikuti petunjuk-Nya.
Jadi untuk menjadi khalifatullah, hendaknya manusia berilmu.
Manusia yang tidak berilmu, tidak bisa dikatakan sebagai khalifah Allah Ta’ala.
2.
Iman dan Amal
Pada ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman tentang kriteria
khalifah-Nya.
“Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di
antara kalian dan beramal shaleh (kebaikan), bahwa Dia akan menjadikan mereka
sebagai khalifah di bumi, Sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum
mereka sebagai khalifah.
Sesungguhnya Dia akan meneguhkan bagi mereka agama mereka,
yang telah diridhai-Nya untuk mereka, serta Dia benar-benar akan mengubah
(keadaan) mereka menjadi aman setelah mereka ketakutan. Mereka akan
menyembah-Ku dan tidak menyekutukan apapun dengan-Ku. Dan barang siapa kafir
setelah itu, maka mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nur : 55).
Pada ayat tersebut, jelas sekali Allah berjanji akan
menjadikan hamba-hamba-Nya sebagai khalifah yang akan menguasai dan memimpin
dunia. Tetapi janji itu akan ditepati-Nya bagi manusia yang beriman dan beramal
kebaikan.
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa kriteria lain dari
seorang khalifatullah adalah iman dan amal
shaleh.
3.
Memberi keputusan dengan benar (haqq) dan tidak mengikuti hawa nafsu,
Allah Ta’ala berfirman:
“Wahai Dawud, Kami jadikan engkau sebagai khalifah di bumi,
maka berilah keputusan dengan benar dan janganlah mengikuti hawa nafsu, karena
hawa nafsu akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (QS. Shad : 26).
Allamah Thabathaba’i berkata, “Maksud khalifah di sini secara
lahiriah adalah khalifatullah, sama dengan maksud dari firman Allah (pada surat
Al-Baqarah ayat 30).
Dan seorang khalifah seharusnya menyerupai Yang mengangkat
dirinya sebagai khalifah dalam sifat-sifat-Nya dan perbuatan-perbuatan-Nya.
Oleh karena itu khalifatullah di bumi hendaknya berakhlak dengan akhlak-akhlak
Allah, berkehendak, bertindak sebagaimana yang Allah kehendaki dan memberi
keputusan dengan keputusan Allah serta berjalan di jalan Allah.”
Selanjutnya ketika menafsirkan ayat :
“Dan janganlah mengikuti hawa nafsu, karena hawa nafsu akan
menyesatkanmu dari jalan Allah.”
Beliau berkata, “Makna ayat tersebut adalah, bahwa engkau
dalam memutuskan (sesuatu) janganlah mengikuti hawa nafsu, maka engkau akan
disesatkan olehnya dari kebenaran, yaitu jalan Allah.” (Tafsir al-Mizan, jilid
17 halaman 194-195)
4.
Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar
Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa ber-amar ma’ruf dan
nahi munkar, maka dia adalah khalifatullah di bumi dan khalifah kitab-Nya serta
khalifah rasul-Nya.’’ (Kitab Mizan al-Hikmah, jilid 3 hal 80).[2]
C.
Modernitas
Perlu Dilakukan Tajdid, apa arti dan bagaimana aplikasinya.
Kita memulai dari paham modernisme. Dalam "Kamus
Besar Bahasa Indonesia”, istilah modern (artinya: terbaru) diartikan
sebagai; cara berfikir dan bertindak sesuai dengan tuntutan zaman. Sementara
istilah moderen sebagai suatu faham gerakan (modernisme) diartikan
sebagai; gerakan yang bertujuan menafsirkan kembali doktrin tradisional,
menyesuaikannya dengan aliran-aliran moderen di filsafat, sejarah, dan ilmu
pengetahuan.
Memang sejatinya, kata modernisme tidak hanya berarti
orientasi kepada kemodernan, tetapi lebih merupakan sebuah terminology khusus.
Sebab pada faktanya modernisasi tersebut adalah modernisasi agama, yaitu sebuah
sudut pandang religius yang didasari oleh keyakinan bahwa kemajuan ilmiah dan
budaya modern membawa konsekwensi reaktualitasi berbagai ajaran keagamaan
tradisional mengikuti disiplin pemahaman filsafat ilmiah yang tinggi.
Dengan kata lain modernisme adalah sebuah gerakan yang bergerak secara aktif
untuk melumpuhkan prisip-prinsip keagamaan agara tunduk kepada nilai-nilai
kemodernan Barat.
Dalam kaca mata Harun Nasution, pada bukunya “Pembaharuan
dalam Islam” ia berpendapat bahwa modernisme dalam masyarakata Barat mengandung
makna pikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk mengubah paham-paham,
adat-istiadat, institusi-institusi lama, dan sebagainya, untuk disesuaikan
dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi modern. Pikiran dan aliran ini kemudian masuk kelapangan agama, dan
modernisme dalam hidup keagamaan di Barat mempunyai tujuan untuk menyesuaikan
ajaran-ajaran yang terdapat dalam agama katolik dan Protestan dengan ilmu
pengetahuan dan falsafat modern.
Jika memang modernisme bertujuan untuk menyelaraskan faham Kristen terhadap
fenomena ilmu pengetahuan, maka seseungguhnya ini adalah permasalahan lokal
yang tidak harus terjadi di dalam tubuh Islam. Namun karena pengaruh modernisme
seiring dengan perkembangan sains yang meliputi pula negeri-negeri muslim, maka
sangat dimungkinkan adanya cendekiawan muslim yang terpengaruh terhadapnya.
Melalui pengertian di atas, nampak bahwa modernisme lahir
sebagai upaya untuk menggantikan faham-faham klasik dengan sesuatu yang baru
dan sesuai dengan suasana hidup serba modern. Tak perduli apapun bentuk faham
klasiknya, semuanya mesti menyesuaikan diri dengan kehidupan baru yang moderen
baik dengan cara melepaskan diri dari keyakinan lama seutuhnya menuju ke
keyakinan baru dengan merubah atau memoles yang lama agar sesuai dengan yang
moderen. Intinya adalah; menjadi beo atau bunglon.
Dalam literatur kita, banyak ditemukan istilah modernisme
dan tajdîd digunakan untuk sebuah pekerjaan yang sama. Seolah-olah
keduanya tidak ada perbedaannya sama sekali. Padahal, modernisme merupakan
idiologi sekaligus gerakan yang lahir dalam suasana kebingungan terhadap
kasus-kasus yang hanya bersifat parsial. Hal itu jelas berbeda dengan konsep tajdîd
yang lahir dari rahim Islam, dimana kalahirannya tidak atas dasar kebingungan
umat menghadapi perubahan zaman, serta sama sekali tidak bersifat parsial.
Secara bahasa, kata tajdîd berasal dari bahasa
Arab jadda – yajiddu yang berarti memperbaharui sesuatu
sebagaimana semula.
Dalam bahasa Arab, sesuatu dikatakan jadîd (baru), dengan syarat
bagian-bagiannya masih erat menyatu dan masih jelas. Maka upaya tajdîd
seharusnya adalah upaya untuk mengembalikan keutuhan dan kemurnian Islam
kembali. Atau dengan ungkapan yang lebih jelas, Thahir ibn Asyur mengatakan,
“Pembaharuan agama itu mulai direalisasikan dengan mereformasi kehidupan
manusia di dunia. Baik dari sisi pemikiran agamisnya dengan upaya mengembalikan
pemahaman yang benar terhadap agama sebagaimana mestinya, dari sisi pengamalan
agamisnya dengan mereformasi amalan-amalannya, dan juga dari sisi upaya
menguatkan kekuasaan agama.”
Pandangan mengenai tajdîd di atas juga diamini
oleh tokoh Integrasi Bangsa Dr. M. Natsir, dimana ia mengartikan modernisme
bukan sebagai gerakan merubah apa-apa yang telah digariskan sejara jelas oleh
agama. Akan tetapi, inti dari itu semua adalah purifikasi, bukan dekonstruksi.
Natsir mengatakan; ”Bagi saya modernisasi dalam Islam justeru kembali kepada
yang pokok atau keaslian. Jadi, modern yang saya maksud adalah kembali kepada
esensialitas Islam,” tegasnya. Sementara makna tajdîd menurut Natsir
adalah; ”Mengintrodusir kembali apa yang dahulu peranah ada tetapi
ditinggalkan. Yaitu membersihkan kembali Islam dari apa yang telah ditutupi
oleh noda-noda.” Untuk lebih mamahami ma’na modernitas
yang benar, M. Natsir merekomendasikan untuk membaca karya-karya ulama besar
semisal; Ibnu Taimiyah, Ibnu Rusydi dan lain-lain.
Ditinjau dari suasana tajdîd di era modern,
Fazlur Rahman menyebutkan modernisasi adalah usaha (dari tokoh-tokoh Muslim)
untuk melakukan harmonisasi antara agama dan pengaruh modernisasi dan
westernisasi yang berlangsung di dunia Islam. Pandangan ini sesungguhnya
tidaklah tepat, jika dimaknai sebagai usaha mengakomodasi nilai-nilai
modernisasi dan westernisasi ke dalam tubuh Islam, sebab Islam adalah pondasi
yang lengkap. Sementara menurut Bassam Tibi, kaum modernis adalah sekelompok
orang yang melakukan pengintegrasian ilmu dan teknologi modern ke dalam Islam,
tetapi berusaha menghindari beberapa konsekwensi negatif dari penerapannya
(sekularisme, perasaan teralienasi, dan melemahnya nilai moral).
Pandangan Bassam Tibi dalam hal ini tepat jika tajdid yang dimaksud berada
dalam konteks keilmuan.
Untuk memetakan geakan tajdîd, pada awal 1968
Isma’il Al Faruqi membagi gerakan muslim moderen kedalam dua katagori yang luas
berdasarkan sikap mereka terhadap ilmu pengetahuan dan sains moderen yaitu;
Mazhab satu kitab dan Mazhab dua kitab. Mazhab pertama berpendapat, bahwa al
qur’an adalah sumber ilmu pengetahuan. Semua pengetahuan ilmiah dan teknoligi
dapat dijustifikasikan secara langsung maupun tidak dari ayat-ayatnya.
Sedangkan mazhab kedua berpendapat bahwa keesaan Tuhan tidak dapat dipisahkan
dari kesatuan kebenaran (unity of truth), tetapi mereka mengakui
adanya dua jalan yang terbuka untuk sampai kepada keduanya, yaitu jalan wahyu
dan jalan ilmu pengetahuan. Dalam hal ini wahyu mengajarkan mengenai realitas
dengan jalan langsung dan intuitif, sementara alam adalah kaitan yang terbuka
bagi mereka yang telah memiliki kecanggihan intelektual untuk membacanya.[3]
D.
Arti
Al-Islam Mahjubun Bil Muslimin, dan
bagaimana menyikapinya.
a.
Perbedaan aliran
Perbedaan pemahaman dalam Islam
sebaiknya disikapi dengan tasaamuh. Sikap ini ada baiknya kita belajar
dari para imam mujtahid yang tak perlu diragukan kepakarannya dalam
mengantisipasi terjadinya keragaman pemahaman agama. Sebagai contoh, Imam
Syafi’i berkata, “Apabila hadits itu sahih, itulah madzhabku dan buanglah
pendapatku yang timbul dari ijtihadku”.
Dam Salah satu isu menarik dalam sikap
keberagamaan kaum Muslim adalah pluralisme. Yakni keragaman pemahaman terhadap
teks-teks agama yang diakibatkan oleh cara menafsirkan teks tersebut.
Keragaman penafsiran muncul disebabkan oleh latar belakang memahami teks
yang bermacam-macam, misalnya disebabkan oleh kedalaman pengetahuan, kondisi
sosial budaya setempat, garis madzhab rujukan, jiwa dari teks itu sendiri dan
sebagainya. Di atas semuanya itu, hal yang perlu diacungi jempol adalah
manakala perbedaan-perbedaan ini direspon dengan kebesaran jiwa masing-masing
pihak dengan mengedepankan penghargaan terhadap pihak lain yang tak sejalan
dengan pemahaman pihaknya. Sesungguhnya isu pluralisme mengandung
pengertian yang merentang sejak pluralitas di kalangan kaum Muslim sendiri
dalam memahami Islam sampai pluralitas keragaman agama di dalam masyarakat
luas. Dalam tulisan ini, pluralisme lebih ditujukan kepada kondisi warna
pelangi dalam memahami Islam terutama pada kajian syari’ah oleh internal
kaum Muslim sendiri.[4]
b. Dampak
globalisasi
Globalisasi
membawa banyak tantangan (sosial, budaya, ekonomi, politik dan bahkan
menyangkut setiap aspek kehidupan kemanusiaan.
Globalisasi menjanjikan pula harapan
dan kemajuan seperti pertumbuhan ekonomi yang pesat, menjadi alat menciptakan
kemakmuran.
Globalisasi
membawa perubahan prilaku, terutama pada generasi muda (para remaja). Para
remaja cenderung bergerak menjadi generasi buih yang terhempas dipantai menjadi
dzurriyatan dhi’afan.
Generasi
buih adalah suatu generasi yang berpeluang menjadi “X-G” the loses generation,
tidak berani ikut serta didalam berlomba melawan gelombang samudera
globalisasi.
E.
Nabi
bersabda “Antum a’lamu bi Umuri dunyakum”
apa ajaran yang terkandung dalam sabda ini, kaitannya dengan islam dan
modernitas.
Keseimbangan
antara kehidupan dunia dan akhirat
keseimbangan
dunia dan akhirat, adakah orang yang telah benar-benar merasa kehidupan dunia
dan akhiratnya sudah seimbang? Mari kita berhitung, kalau maksud seimbang
adalah 50:50 maka seharusnya 50% waktunya untuk dunia dan 50% waktunya untuk
akhirat. Adakah yang mampu membagi waktu sedemikian? Dan sebenarnya makna
seimbang atau adil itu tidak mutlak 50:50, seperti seorang membuat air kopi,
kalau kopinya setengah gelas, gulanya setengah gelas kemudian airnya juga
setengah gelas maka tidak jadi air kopi. Makna adil atau seimbang adalah
proporsional, sesuai dengan kadarnya. Jadi, seberapa lama kita akan tinggal di akhirat,
seperti itulah seharusnya usaha kita untuk mempersiapkannya.
Semoga
Allah SWT senantiasa membimbing dan memberi petunjuk dalam kita memahami
hakikat dari kehidupan dunia ini, dengan selalu berusaha mengkaji pemahaman
tentang ajaran-ajaran Islam serta mengamalkannya secara sempurna / keseluruhan
dalam keseharian kita.[5]
Karakteristik
ajaran islam selanjutnya dapat dipahami dari konsepsinya dalam bidang
kehidupan. Islam memandang bahwa kehidupan yang harus dilakukan menusia adalah
hidup yang seimbang dan tidak terpisah antara duni adan akhirat. Urusan dunia
dikejar dalam rangka mengejar kehidupan akhirat dan kehidupan akhirat dicapai
dengan kehidupan dunia. Kita membaca hadits Nabi yang diriwayatkan Oleh Ibn
Mubarak yang artinya bukanlah termasuk orang-orang yang baik diantara kamu
adalah orang yang meninggalkan dunia kerena mengejar kehidupan akhirat.dan orag
yang meninggalkan akhirat karenamengejar kehidupan dunia. Orang yang baik
adalah orang yang meraih keduanya secara seimbang, karena dunia adalah alat
menuju akhirat dan jangan dibalik yakni akhirat dikorbankan untuk urusan dunia.
Pandangan
islam mengenai kehidupan demikian itu, secara tidak langsung menolak kehidupan
yang bercorak sekularistik, yaitu kehidupan yang memisahkan urusan dunia dengan
urusan agama. Agama harus terlibat dalam urusan dunia.[6]
F.
Bagaimana
islam menangkap kemajuan zaman
Dalam tulisannya berjudul Masyarakat Onta dan Masyarakat
Kapal Udara, Sukarno terusik dengan perkataan Prof. Tor Andrea bahwa Islam
saat ini sedang manjalani “ujian apinya sejarah. Kalau ia menang, ia akan
menjadi teladan bagi seluruh dunia; kalau ia kalah, ia akan merosot ketinggalan
selaman-lamanya”. Perkataan ini sangat menggelisahkan Sukarno, maka pemikiran
keIslamannya ia maksudkan agar Islam menang dalam ujian apinya sejarah itu.
Untuk menang, yang harus dilakukan Sukarno adalah mencari hukum-hukum sejarah,
termasuk sebab-sebab kemunduran dan kemajuan umat Islam. Tema ini sebenarnya
merupakan tema sentral dalam pergulatan pembaharuan Islam yang dimulai oleh
Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh.
Mula-mula mereka terusik oleh kemajuan Barat, lalu bertanya
kenapa Islam mundur. Kemudian, Afghani mengeluarkan diktum terkenal: Barat maju
karena meninggalkan agamanya dan Islam mundur juga karena meninggalkan
agamanya. Maka untuk maju umat Islam harus memperkuat tali agamanya dengan
kempali pada Islam otentik (quran-hadits). Dengan pergulatan yang sama, Sukarno
mengatakan bahwa penyebab kemunduran Islam adalah kesenjangan yang lebar antara
perkembangan masyarakat yang tunduk pada hukum-hukum sejarah dengan pemahaman
dan doktrin Islam. Masyarakat sudah hidup di zaman kapal udara sementara
pemahaman dan doktrin Islam masih hidup di zaman onta. Kembali ke quran dan
hadits saja tidak cukup jika cara berfikir dan pemahamannya masih pemahaman
zaman onta.
Yang dibutuhkan oleh umat Islam adalah lompatan historis dan
berani memandang zamannya sesuai dengan pemahaman dan cara fikir zamannya
dengan dilandasi kalam ilahi. Dalam suratnya yang terahir kepada A. Hasan,
Sukarno mengatakan bahwa quran dan hadits bisa menjadi pembawa kemajuan, suatu
api yang menyala, kalau kita baca quran dan hadits itu berdasar pengetahuan
umum dan science. (Sukarno, Surat-surat Islam dari Endeh, dimuat
kembali dalam DBR, 1964)
Sukarno menyaksikan peristiwa aneh karena di zaman kapal
udara masih ada orang yang mau kembali pada zaman onta, dan bahkan ada pula
yang tidak mau maju tapi juga tidak mau mundur. Mereka duduk termangu
menyaksikan lalu lalang perubahan dan kemajuan yang suatu saat akan
melindasnya.
Dengan mengutip Heraclitos, Sukarno mengatkan bahwa seumuanya
akan berubah, berubah ke arah kemajuan. Tidak mau berubah berarti menentang
hukum sejarah, menentang berarti siap dipinggirkan oleh sejarah. Itulah
tanda-tanda kekalahan Islam dalam ujian apinya sejarah, karena mereka lamban
atau tidak mau menerima perubahan. Mereka statis dan telah terbiasa dengan
Islam sontoloyo. Menurut Sukarno, penyebab statisme ini adalah pensakralan fiqh
dan berbagai ijma’ ulama’ yang kemudian berujung pada penutupan pintu ijtihad.
Fiqh telah menjadi algojo roh-semangat Islam. (Sukarno, Islam Sontojo
dalam DBR, 1964)
Dalam tulisannya berjudul Me “muda” kan Pengertian Islam,
Sukarno menguti Prof. Farid Wajdi yang mengatakan bahwa Islam bisa maju jika
dilandaskan pada kemerdekaan roh, kemerdekaan akal, dan kemerdekaan
pengetahuan. Maka, roh yang selama ini dirantai oleh fiqh haruslah dilepas
rantainya, akal yang selama ini dipasung oleh ijma’ ulama’ haruslah dibuka
pasungannya, dan pengetahuan yang selama ini ditutup oleh bab el-Ijtihad haruslah
dibuka tutupnya. Dengan mengutip Sajid Amir Ali, Sukarno mengatakan bahwa Islam
itu sperti karet, karena itu tidak ada yang bisa membatasi kemerdekaan roh,
akal,dan pengetahuan dalam Islam.
Islam menghargai
kemerdeaan roh, akal, dan pengetahuan karena Islam agama rasional. Dengan rasio
kita melakukan rethinking of Islam untuk membuang abu Islam dan
menangkap apinya. Dan dengan rasio juga kita menangkap makna atau roh dibalik
huruf-huruf dalam kalam ilahi. Hanya dengan menangkap roh atau apinya, Islam
bisa kembali menjadi Islam Kemajuan seperti yang pernah dialami oleh Islam generasi
pertama.[7]
[1]
http://blog.re.or.id/tugas-dan-peran-manusia.htm
[2]
http://abibakarblog.com/agama/apakah-semua-manusia-adalah-khalifah-allah/
[3]
http://www.pku-dewandakwah.com/index.php?option=com_content&view=article&id=62:konsep-tajdid-dan-modernisme-sebuah-kajian-perbandingan&catid=28:artikel-mahasiswa&Itemid=18
[4]
http://islamlib.com/id/artikel/menyikapi-keragaman-pemahaman-islam/
[6]
http://sarjoni.wordpress.com/2010/01/19/kerakteristik-ajaran-islam/
[7]
http://info-airin.com/perspektif/rohani-islam/533-dari-islam-sontoloyo-ke-islam-kemajuan-telaah-atas-pemikiran-keislaman-sukarno.html